
Kendari – Duasatunews. Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Daerah (LP2D) mengadakan seminar nasional bekerjasama beberapa Lembaga diantaranya ICMI dan PUSPIN-EBT dengan dukungan Kementerian ESDM dan KADIN SULTRA serta beberapa Perusahaan Pertambangan yang beroprasi di wilayah Sulawesi Tenggara. 20/05/2025
Ketua Panitia penyelenggara Dr. Eni Samayati dalam sambutannya mengemukakan bahwa Hilirisasi bukan sekadar proses industri, melainkan arah baru pembangunan bangsa yang menempatkan nilai tambah, keberlanjutan, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Dan ketika kita bicara soal hilirisasi, kita tidak bisa melewatkan Sulawesi Tenggara.
Sulawesi Tenggara adalah tanah harapan. Tanah yang menyimpan kekayaan luar biasa, baik dari sektor pertambangan seperti nikel , emas dan aspal, maupun dari potensi besar energi baru dan terbarukan: mulai dari tenaga surya, arus laut, angin, bioenergi, hingga panas bumi. Potensi yang jika dikelola dengan benar, tidak hanya akan menopang pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, tetapi juga menjadi motor penggerak kesejahteraan sosial. Lanjut Eni Samayati
Namun demikian, Sulawesi Tenggara masih menyimpan banyak potret kontradiksi. Di satu sisi, tanahnya menyimpan kekayaan mineral yang diperebutkan dunia. Namun di lain sisi, masih banyak masyarakat lokal yang hidup dalam ketertinggalan, termasuk dalam hal pendidikan.
Perkenankan saya menyampaikan satu cerita nyata, yang semestinya menjadi alarm bagi kita semua. Di Buton Tengah, tepatnya di Dusun Kaudani, hidup sekelompok masyarakat Suku Bajo, suku maritim yang dikenal ulet dan mandiri. Namun, di sana, dari sekitar 147 anak usia sekolah, hanya satu anak yang mampu melanjutkan pendidikan. Bukan karena mereka tidak mau belajar, tapi karena akses yang begitu sulit, karena jarak, kemiskinan, dan keterbatasan fasilitas dasar. Terangnya.
Satu kampung yang terputus dari masa depan. Satu generasi yang terancam tenggelam bukan karena lautan, tapi karena kelalaian kita dalam membangun sistem yang inklusif dan adil.
Eni menekankan bahwa Inilah paradoks kita hari ini. Ketika nikel dan mineral lain diekspor ke berbagai belahan dunia, anak-anak Kaudani harus berhenti sekolah karena tidak ada jalan yang layak, tidak ada jembatan kebijakan yang menjangkau mereka.
Maka dari itu, seminar ini bukan hanya ruang diskusi teknis soal energi dan hilirisasi. Seminar ini harus menjadi ruang refleksi kolektif agar kebijakan nasional tentang hilirisasi benar-benar membumi, menyentuh masyarakat paling pinggir, dan menghadirkan keadilan sosial.
Kami berharap forum ini tidak berhenti pada tataran konsep dan kajian. Tapi menjelma menjadi pendorong nyata, mendorong perusahaan tambang untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi ikut membangun akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Juga mendorong Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk menjadikan cerita seperti Dusun Kaudani sebagai prioritas intervensi kebijakan.
Seminar ini harus menjadi titik balik.
Kita tidak boleh hanya membahas nilai tambah ekonomi dari hilirisasi, tapi juga nilai kemanusiaan dari setiap kebijakan. Hilirisasi harus menjadi jembatan, bukan sekat. Energi yang kita gali dan olah harus menjadi terang, bukan hanya di pusat-pusat industri, tetapi hingga ke sudut-sudut desa yang masih gelap.Karena tambang bukan sekadar kekayaan alam. Tambang adalah tanggung jawab moral. Dan hilirisasi bukan sekadar industrialisasi, tetapi jalan menuju keadilan pembangunan.
Mari kita pastikan bahwa setiap energi yang kita hasilkan, setiap mineral yang kita olah, tidak sekadar meningkatkan PDB nasional, tetapi juga membuka jalan bagi anak-anak di pelosok Sultra untuk bermimpi dan belajar. Karena di sanalah letak sejati pembangunan: ketika yang paling lemah sekalipun merasa dilibatkan dan diperjuangkan. Tegas Eni Samayati.