Nikel, Negara, dan Luka yang Tak Terobati: Ketika Sumber Daya Menjadi Sumber Derita

Nikel, Negara, dan Luka yang Tak Terobati: Ketika Sumber Daya Menjadi Sumber Derita
Oleh: Arin Fahrul Sanjaya, S.I.Kom.
aktivis Komunikasi Sosial dan Pemerhati Isu Hukum & Lingkungan

Pengantar: Emas Baru, Luka Lama
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan besar dalam industri pertambangan nikel. Nikel, sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik dan komponen penting dalam industri teknologi global, tiba-tiba menjelma menjadi “emas baru” yang dikejar habis-habisan. Dari Sulawesi Tenggara hingga Papua Barat, kawasan yang sebelumnya damai dan lestari, kini beralih rupa menjadi pusat-pusat aktivitas pertambangan masif.

Namun di balik gemerlap narasi “hilirisasi”, “ketahanan energi”, dan “transformasi hijau”, terdapat potret buram yang tak boleh diabaikan: hukum yang diremehkan, lingkungan yang dihancurkan, dan kemanusiaan yang dikorbankan. Nikel mungkin memang mengalirkan devisa, tetapi ia juga membawa luka yang tak terobati—khususnya bagi masyarakat lokal, adat, dan generasi yang akan datang.

I. Hukum yang Memihak Modal, Mengabaikan Moral
Indonesia adalah negara hukum. Kalimat itu kerap diulang dalam pidato pejabat, sambutan pemerintah, bahkan di brosur-brosur investasi. Namun realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Hukum kita kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah—khususnya dalam urusan tambang.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) seolah memberi karpet merah bagi ekspansi tambang, dengan memusatkan kewenangan di pemerintah pusat dan memperlemah posisi pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Alih-alih memperkuat kontrol publik, negara justru terlihat lebih melayani kebutuhan para investor besar.

Perusahaan yang melakukan penambangan di kawasan hutan lindung, merusak sempadan sungai, atau membuang limbah berbahaya seringkali hanya diberi teguran administratif. Bahkan, tidak sedikit yang justru mendapat perpanjangan izin atau difasilitasi secara politis. Sementara masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya, menolak tambang, atau melakukan aksi damai justru dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara.

Ini bukan sekadar ironi, tapi bentuk nyata dari pembusukan sistem hukum. Ketika hukum tunduk pada kepentingan ekonomi dan mengabaikan nilai-nilai keadilan sosial, maka negara sedang kehilangan jiwanya.

II. Ekologi yang Dikorbankan Atas Nama Kemajuan
Hampir tidak ada aktivitas pertambangan yang benar-benar ramah lingkungan, apalagi dalam skala besar dan dilakukan secara terburu-buru. Penambangan nikel di Indonesia telah menimbulkan kerusakan ekologis yang sangat mengkhawatirkan.

Hutan tropis yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati tingkat tinggi ditebang habis untuk membuka jalan bagi alat berat dan infrastruktur tambang. Sungai-sungai tercemar lumpur dan bahan kimia, menyebabkan kerusakan pada sistem irigasi, air minum, hingga mata pencaharian nelayan dan petani. Wilayah pesisir dan laut menjadi tempat pembuangan tailing tambang yang merusak terumbu karang dan populasi ikan.

Studi ilmiah dan investigasi jurnalis independen telah membuktikan kerusakan di berbagai wilayah, mulai dari Pulau Obi, Halmahera,Konawe utara, konawe selatan, kolaka dan kolaka utara, Konawe, Morowali, hingga kawasan Raja Ampat yang seharusnya menjadi kawasan konservasi dunia. Bahkan ada perusahaan yang tetap beroperasi di pulau-pulau kecil seperti labengki dan pulau maniang hingga pulau wawonii, padahal secara hukum dilarang oleh UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Sayangnya, kerusakan ini kerap disamarkan oleh dokumen AMDAL yang manipulatif, laporan CSR yang mengada-ada, dan komunikasi korporat yang hanya menjual “narasi hijau” tanpa substansi. Yang mereka sebut sebagai “transformasi energi hijau” justru meninggalkan jejak kehancuran ekologis di kampung halaman warga.

III. Kemanusiaan yang Terinjak dalam Proyek Investasi
Tak hanya hukum dan lingkungan yang dikorbankan—nilai-nilai kemanusiaan juga terkikis habis oleh industrialisasi tambang. Di banyak wilayah tambang, kita menyaksikan gejala yang sama: penggusuran tanah ulayat, peminggiran komunitas adat, maraknya konflik horizontal, serta munculnya desa-desa hantu karena warga harus meninggalkan kampung demi menghindari intimidasi atau pencemaran.

Sungguh tragis, ketika tanah yang diwariskan turun-temurun justru diambil paksa atas nama konsesi tambang. Ketika masyarakat adat berdiri mempertahankan hutan dan sungai, mereka dicap “anti pembangunan”, “provokator”, atau bahkan “ancaman nasional”. Di saat yang sama, aparat negara justru lebih sibuk mengawal kepentingan investor ketimbang melindungi warga negara.

Pemerintah sering berkilah bahwa tambang membawa lapangan kerja. Namun realitasnya, mayoritas tenaga kerja tambang adalah dari luar daerah, sedangkan masyarakat lokal hanya kebagian pekerjaan kasar dengan upah rendah dan risiko tinggi. Belum lagi dampak sosial seperti hilangnya mata pencaharian, naiknya harga kebutuhan pokok, rusaknya tatanan adat, serta krisis kesehatan akibat polusi.

Pertambangan nikel telah menjelma menjadi proyek dehumanisasi. Di mana manusia tidak lagi dipandang sebagai subjek pembangunan, tetapi sebagai “gangguan” yang harus disingkirkan demi kelancaran produksi.

IV. Komunikasi Publik yang Dikaburkan
Sebagai lulusan Ilmu Komunikasi, saya memandang bahwa krisis ini juga merupakan krisis komunikasi. Pemerintah dan korporasi terlalu banyak bermain dalam arena propaganda—membungkus kerusakan dengan slogan, menutupi suara rakyat dengan konferensi pers, dan mengganti perlawanan dengan “branding pembangunan”.

Rakyat jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada ruang deliberatif yang jujur, tidak ada partisipasi yang setara. Suara-suara minoritas ditenggelamkan oleh megafon kekuasaan. Ini bukan sekadar kegagalan komunikasi—tapi bentuk penindasan struktural melalui penguasaan informasi.

Penutup: Saatnya Revolusi Paradigma
Pertanyaannya kini bukan lagi perlu atau tidaknya tambang nikel, tetapi bagaimana mengelolanya dengan adil, lestari, dan manusiawi. Kita butuh revolusi paradigma dalam melihat sumber daya alam: bahwa tanah, air, hutan, dan hasil buminya bukan sekadar komoditas pasar, tetapi bagian dari identitas, spiritualitas, dan keberlangsungan hidup masyarakat.

Negara harus kembali pada fungsinya sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar fasilitator modal. Penegakan hukum harus setara. Kajian lingkungan harus ilmiah dan independen. Hak masyarakat adat harus dihormati. Dan pembangunan harus dijalankan dengan prinsip keadilan ekologis dan sosial.

Jika tidak, maka kita akan terus menggali nikel dari perut bumi, tetapi yang kita hasilkan adalah penghancuran masa depan.

Arin Fahrul Sanjaya, S.I.Kom.
Pemerhati Komunikasi Sosial, Lingkungan, dan Aktivis Keadilan Ekologis
Jakarta, Juli 2025

Arin2024

mahasiswa magister administrasi publik Institut Stiami

Related Posts

REFORMASI KOSMETIK

Jakarta. DuaSatuNews. Dalam beberapa tahun terakhir, kita selalu disuguhi berbagai jargon dan program modernisasi Polri yang dikemas melalui kampanye “Polri Presisi”, “Polri Humanis”, hingga “Polri Berintegritas”. Inovasi digital, peluncuran aplikasi…

Soeharto dan Gelar Pahlawan Nasional: Analisis Sejarah, Politik, dan Moral

Jakarta, DuaSatuNews.Com. Pada tanggal 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025. Keputusan ini memicu perdebatan luas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *