Jakarta-DuaSatuNews-Setiap kali banjir datang, kita selalu melihat gambar yang sama dimana-mana rumah terendam, anak-anak digendong menyebrangi arus, ibu-ibu menangis menyelamatkan sisa-sisa harta, dan lelaki-lelaki yang hanya bisa pasrah menatap kampung yang hancur. Kita menyebutnya musibah, seolah ini adalah hukuman alam. Padahal kenyataannya jauh lebih pahit perlu direnungi jika banjir ini bukan takdir ini akibat tangan-tangan manusia yang merampas hutan secara liar.
Musibah banjir yang berulang kali terjadi di berbagai wilayah Indonesia bukanlah fenomena alam semata. Banyak di antaranya merupakan akibat langsung dari aktivitas ilegal logging yang terus menggerus hutan tanpa kendali. Hutan yang seharusnya menjadi benteng alami penahan air justru dirusak demi keuntungan sesaat, meninggalkan kerentanan ekologis yang mahal harganya bagi masyarakat.
Ketika pohon-pohon ditebang secara liar, tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Akar yang sebelumnya menjadi penjaga stabilitas tanah hilang, membuat air hujan langsung mengalir tanpa hambatan menuju sungai dan pemukiman. Akibatnya, saat intensitas hujan meningkat, sungai meluap dan menimbulkan banjir besar. Dampaknya bukan hanya kerusakan material, tetapi juga hilangnya mata pencaharian bahkan korban jiwa yang berjatuhan.
Ironisnya, masyarakat kecil sering kali menjadi pihak yang paling menderita, padahal mereka bukan pelaku perusakan hutan. Di sisi lain, para pelaku ilegal logging sering kali bekerja dengan jaringan kuat yang sulit disentuh hukum. Jika kondisi ini dibiarkan, ekosistem akan semakin rusak, dan bencana akan menjadi tamu tetap setiap musim hujan.
Ilegal logging telah mencabik-cabik paru-paru bumi kita. Pohon-pohon yang seharusnya menjadi pelindung, penjaga tanah, dan penahan air, ditebang begitu saja tanpa rasa bersalah. Ketika hujan turun, tanah yang sudah telanjang tak mampu lagi menahan air. Air yang seharusnya meresap perlahan kini mengalir bebas, menghantam desa-desa yang tidak pernah meminta bencana.
Dan siapa yang paling menderita? Bukan mereka yang meraup keuntungan dari kayu ilegal. Bukan para cukong yang kaya raya karena merusak hutan. Korban sesungguhnya adalah masyarakat kecil yang hidup sederhana, yang tidak pernah menebang sebatang pohon pun. Mereka membayar mahal atas kerakusan segelintir orang.
Jika saja tanah bisa berteriak hentikan maka, akan mengaung keseluruh penjuru hutan-hutan yang disentuh tangan-tangan serakah. Akan tetapi tanah hanya bisa pasrah direbut dan digunduli penahan air yang menjadi sumber kehidupan manusia.
Kita tidak boleh lagi diam dimana setiap pohon yang tumbang secara ilegal adalah ancaman bagi kampung kita rumah kita. Setiap truk bermuatan kayu ilegal adalah tanda bahaya dan setiap banjir yang menelan rumah dan nyawa adalah jeritan alam yang meminta kita bangun dan melawan.
Kampanye menjaga hutan bukan hanya soal lingkungan tapi ini soal kemanusiaan. Soal melindungi anak-anak agar tidak tumbuh dalam ketakutan setiap musim hujan. Soal masa depan desa-desa kita kampung kita dimana darah kita mengalir disaat kamu keluar dari rahim seorang Ibu. Soal keberanian untuk berkata Cukup sudah perusakan hutan ini. Kami ingin hidup, bukan tenggelam.
Banjir tidak akan berhenti hanya dengan doa. Ia berhenti ketika ilegal logging dihentikan. Dan itu dimulai dari kita dari suara kita, dari gerakan kita, dari keberanian kita meminta keadilan.
Pemerintah bersama Aparat Penegak Hukum (APH) saatnya berkolaborasi dengan penggiat Lingkungan untuk menuntaskan masalah Ilegal Logging demi masa depan Bangsa Indonesia.
Penulis : Eni Samayati






